Monday, December 26, 2011

dr blog tetangga

things are queer queer eyes for urban culture Skip to content * Home * Selamat Datang dan Bergabung ? Older posts Homoseksualitas: Kenangan Zaman Bapak Saya Posted on March 31, 2010 | 2 Comments Perilaku seksualitas maskulin –ini bahasa kebudayaan untuk melukiskan hubungan seksual sesama lelaki- yang selalu dianggap sebagai pembicaraan tabu, bahkan dalam konteks masyakarat yang sudah demikian modern dan maju, sebenarnya pernah menjadi bagian yang akrab dari kehidupan keseharian dalam hubungan sosial sejumlah suku di Indonesia. Saya bicara tentang Suku Jawa, tentang ingatan pada sebuah kampung di Solo pada paroh kedua dasawarsa 1970-an. Kala itu, saya adalah seorang balita laki-laki yang selalu menggoda perhatian seorang tetangga yang kami panggil Oom Ratno. Setiap kali saya keluar dari rumah, ia yang tinggal bersebelahan dengan kami, tak pernah bisa menahan diri untuk mencubit, menggendong, menimang dan tak jarang –demikian yang kemudian saya dengar dari ayah dan ibu saya ketika saya mulai beranjak remaja- ngerjain saya dengan mengoleskan sambal di bibir saya. Tentu saja, saya yang masih balita kepedesan dan menangis sejadi-jadinya. Oom Ratno seorang lelaki yang lincah dan selalu punya cara serta kata-kata untuk membuat suasana sekitarnya menjadi gayeng, guyup. Penuh canda dan akrab. Ia tinggal sendirian, menempati satu dari tiga rumah petak berdempetan yang kami sewakan. Konon, ia merantau dari Purwokerto dan bekerja sebagai pegawai rendah di Stasiun Balapan. Kehadirannya di kampung kami memberi kesan tersendiri, terutama bagi lelaki-lelaki muda yang pernah dimanjakannya dengan imbalan, yang bersangkutan harus memenuhi hasrat seksualnya sebagai lelaki yang tertarik dengan sesama lelaki. Kami tak pernah punya istilah apapun untuk Oom Ratno. Orang-orang kampung tak pernah menyebutnya gay –kami tak tahu dan belum pernah mendengar kata itu. Dan, meskipun pada malam-malam tertentu Oom Ratno berdandan layaknya seorang perempuan, kami juga tak pernah menyebutnya banci, waria atau istilah apapun. Oom Ratno adalah Oom Ratno. Yang pada saat digelar latihan keroncong di rumah Pak RT, ia duduk di bangku paling depan, membawa banyak makanan untuk dibagikan dan pada gilirannya tampil menyanyi untuk menarik perhatian pemuda-pemuda kampung yang umumnya menganggur. Kata ayah saya ketika saya sudah dewasa, hampir semua pemuda di kampung kami pernah tidur dengan Oom Ratno. “Siapa yang bisa menolak? Tidur bersama Oom Ratno berarti makan enak, dikasih duit…” tutur ayah. Ayah sendiri, kemudian, tak segan-segan menceritakan pengalamannya. Bila sudah cukup lama tak tidur dengan lelaki, Oom Ratno menjadi gelisah, mudah marah dan kasar. Suatu malam, ayah sedang tidur di emperan rumah –ini biasa dilakukan orang-orang kampung masa itu- dan menjadi sasaran penyaluran hasrat Oom Ratno yang sudah lama tak mendapatkan teman tidur. Ayah yang sedang terlelap digerayangi, dihisap penisnya hingga ejakulasi. Ayah tergeragap bangun dan lari, tapi hari-hari setelah itu semua berjalan seperti biasanya, seperti tak pernah terjadi apa-apa. Suatu hari, adik ayah dari desa datang, dan menarik perhatian Oom Ratno. Tanpa malu-malu, Oom Ratno menawarinya untuk “tidur saja di rumah saya”. Karena rumah kami sempit, dan daripada tidur di kursi atau lantai, maka ayah pun ikut menyarankan agar sang adik menerima tawaran Oom Ratno itu. Ketika saya dewasa, ayah mengenang peristiwa itu sebagai lelucon. Ternyata, kala itu, ayah memang sengaja ngerjain adiknya. Pagi harinya, sang adik keluar dari rumah Oom Ratno dengan muka bersungut-sungut. Dan, semua tahu apa yang terjadi semalam. *** Praktik-praktik hubungan seksual sesama lelaki tidak selalu identik dengan kecabulan dan ketidaknormalan (1). Dalam masyarakat suku tertentu, perilaku seksualitas maskulin tersebut dilakukan murni sebagai ritus sakral yang diamalkan turun-temurun sampai sekarang. Hal ini antara lain terjadi dalam masyarakat Suku Marind dan Suku Kiman yang menugasi paman dari pihak ibu untuk memenetrasi anus anak lelaki yang sudah menampakkan tanda pubertas awal agar kelak menjadi lelaki dewasa yang kuat berkat sperma dari lelaki dewasa. Fase ini harus dilalui oleh setiap anak lelaki suku tersebut selama tiga tahun. Mitologi Yunani kuno juga mengenal kisah seksualitas maskulin sebagai ritual. Mitos ini sering mengungkap penculikan dan perjalanan keluar dari peradaban menuju hutan rimba atau tempat tak dikenal tempat orang dewasa memberikan “pengetahuan” tentang kehidupan kepada anak lelaki. Pasangan maskulin paling populer dalam mitologi Yunani adalah Ganymedes dan Zeus. Sedangkan Mesir kuno memiliki mitos tentang Seth yang memerkosa Horus. Seth adalah seorang dewa saudara lelaki dari Osiris dan Horus adalah putra dari Osiris. Dan, masyarakat Cina kuno memiliki kisah tentang Cao yang dibantu istrinya melubangi dinding kamar mandi pangeran Chonger dan mendapati pangeran sedang bermain seks dengan dua pelayan lelaki. Sejumlah peneliti bahkan enggan memakai istilah homoseksualitas menyangkut seksualitas maskulin yang terjadi dalam masyarakat primitif maupun masyarakat peradaban kuno, karena pada masa itu seksualitas maskulin bukan dianggap penyimpangan. Peneliti budaya Indonesia dari Universitas Cornell Ben Anderson, misalnya, memaknai hubungan seksual sesama lelaki yang dilakukan oleh sejumlah tokoh dalam Serat Centhini, salah satu karya klasik Jawa yang terbesar, sebagai bagian dari “impian profesional” Jawa akan sebuah tatanan masyarakat yang ideal (2). Diduga disusun oleh suatu tim pengarang di bawah putra mahkota Keraton Surakarta yang kemudian menjadi Pakubuwono V dan selesai pada 1814, Centhini merupakan sebuah mahakarya ensiklopedis yang lengkap mengenai budaya Jawa yang dipaparkan sebagai cerita berbentuk tembang. Melalui banyak contoh yang disajikan dan kosa kata teknis Jawa yang dipergunakan secara bebas, Centhini menunjukkan bahwa homoseksualitas lelaki paling tidak bukanlah sesuatu yang problematis. Melainkan, bagian keseharian dari budaya seksual Jawa yang sangat beragam. Konteks ini berkaitan dengan tokoh bernama Cebolang yang secara garis besar ceritanya dapat dipaparkan sebagai berikut: Cebolang yang diusir dari rumah oleh ayahnya mencari nafkah dengan memimpin rombongan kecil pementas jalanan. Anggota rombongan ini yang paling penting bernama Nurwitri, penari muda pria yang agak keperempuan-keperempuanan. Dalam perjalanannya, rombongan ini sampai di Kabupaten Daha dan dipanggil oleh adipati untuk berpentas. Sebagaimana para istri, pejabat, pelayan dan pengikutnya, sang adipati pun terkesima oleh keterampilan para penampil, khususnya Nurwitri yang menari dengan anggun dalam pakaian perempuan. Usai pementasan, penari muda ini diundang untuk tidur dengan sang adipati yang sangat terangsang. Nurwitri terus-terang bersedia disodomi, menyenangkan hati sang adipati dengan seni bercintanya yang hebat, dan keesokan harinya mendapat imbalan uang dan pakaian mahal. Sampai beberapa malam sang adipati bersuka cita dengan Nurwitri, tapi ia belakangan mengalihkan perhatiannya pada Cebolang yang lebih maskulin, yang diperintahkannya untuk menari dalam busana perempuan. Seperti sebelumnya, musik dan tari membangkitkan gairah seksualnya, dan ia pun tidur dengan Cebolang. Dipaparkan dengan gamblang, bagaimana dengan penuh kenikmatan sang adipati menyodomi Cebolang yang dilukiskan “lebih hebat diranjang dibandingkan dengan Nurwitri”. Ia pun mendapat imbalan yang sepadan sesudahnya. Kemudian sesuatu yang aneh terjadi, yang sepengetahuan Ben Anderson tak pernah dijumpai kesejajarannya pada karya sastra Indonesia manapun. Sang adipati menanyai Cebolang, siapakah yang lebih menikmati dalam suatu hubungan sodomi –yang memenetrasi ataukah yang dipenetrasi. Ketika Cebolang menjawab, “jauh lebih nikmat yang dipenetrasi”, sang adipati pun ingin menguji kebenaran hal tersebut. Kemudian Cebolang menyodomi lelaki tua yang kaya, berkuasa dan berpangkat tinggi itu. Apa yang terjadi? Ternyata sangat berbeda dengan apa yang dikatakan Cebolang. Di antaranya karena ukuran penis Cebolang, sang adipati sangat kesakitan, anusnya robek sehingga tak dapat duduk keesokan harinya. Sungguh menarik menyimak penggambaran adegan-adegan tersebut, misalnya ketika sang adipati disodomi Cebolang, “airmata berleleran di wajahnya, merintih minta belas kasihan”. Bahkan, sang adipati sampai terkecing-kencing di kasur. Cebolang merasa tersentuh dan mempercepat tekanannya untuk segera mengakhiri penderitaan sang adipati. Akhirnya, sang adipati pun “roboh dalam keletihan sepenuhnya”. Perincian semacam itu, menurut Ben Anderson, merupakan suatu kesengajaan untuk menampilkan Cebolang sebagai seorang profesional seksual yang piawai. Ia tidak berdusta ketika mengatakan bahwa yang dipenetrasi jauh lebih menikmati daripada yang memenetrasi –hanya saja untuk mencapai hal itu orang harus berbekal ilmu dan pengalaman. Cebolang yang dilukiskan sebagai “luwes dan terampil dalam berbagai gerakan” misalnya, begitu piawai “secara aktif mempasifkan diri” ketika disodomi. Tapi, apakah benar-benar ada Cebolang yang dengan penuh gaya menyodomi tuan priyayinya? Apakah episode sodomi ini merupakan bagian dari gambaran penting Jawa Masa Silam? Siapa yang yakin, kata Ben Anderson. Kita anggap, demikian lanjut Ben, pada sisi yang lain, tembang hebat ini (Centhini –pen) tidaklah mencerminkan kehidupan nyata, malainkan…simbol fantasi sebuah masyarakat yang memimpikan suatu kondisi kehidupan yang serba ideal. *** Kendati episode sodomi dalam Centhini bukan dimaksudkan sebagai episode homoseksualitas, melainkan lebih lebih bermakna simbolis, namun sudah cukup menjelaskan bahwa hubungan seksual maskulin merupakan perilaku konstan pada kurun sejarah semua masyarakat. Sampai dengan saat Centhini selesai ditulis, istilah homoseksualitas belum dikenal. Istilah ini baru muncul untuk pertama kalinya dalam bahasa Inggris pada 1890 dalam tulisan Charles Gilbert Chaddock yang menerjemahkan Psychopathia Sexualis karya R. von Krafft-Ebing. Istilah ini untuk menggambarkan seksualitas antara dua orang yang berjenis kelamin sama, baik laki-laki maupun perempuan. Kisah Oom Ratno di bagian awal tulisan ini hanyalah gambaran kecil dari sebuah realitas besar yang tak pernah mengenal istilah apapun, kecuali dengan sendirinya menunjukkan satu sisi kebenaran sejarah yang selama ini barangkali selalu ditolak, atau disembunyikan. Bahwa perilaku seksual maskulin ada dalam setiap lapisan budaya masyarakat sampai ke sub-sub budaya yang tertutup. Di Jawa Timur, kita mengenal kesenian tradisional reog yang ditegakkan antara lain dengan tradisi hubungan warok dan gemblak –yang pertama merupakan sebutan untuk laki-laki sakti yang memainkan reog, dan yang kedua adalah lelaki belia peliharaan sang warok untuk menjaga kesaktiannya. Novel “Toenggoel” karya Eer Asura dengan gamblang menggambarkan betapa penggemblakan adalah praktik homoseksual yang diterima begitu saja, bahkan dakui oleh sebuah masyakarat di daerah Jawa Timur bagian dari tradisi mereka (3). Maka sungguh mengingkari sejarah jika massa dari Forum Umat Islam (di dalamnya antara lain terdapat FPI) meneriakkan kata-kata yang mengharamkan kaum gay menginjakkan kaki di Jawa Timur ketika mereka memprotes penyelenggaraan Konferensi ILGA, yang sedianya dijadwalkan digelar di Surabaya, 26-28 Maret 2010. Dalam lingkungan Islam sendiri, terutama dalam sub-kultur pesantren, dikenal adanya praktik “mairil”, yakni hubungan asistensi serupa kakak-adik antara santri senior dan santri yunior yang tak hanya demi kepentingan pendidikan melainkan juga mencakup tuntutan layanan seks dari si senior kepada yunior (4). Tapi, memang, siapa yang perlu sejarah? (kata Tom Boellstorff yang menulis buku The Gay Archipelago: Seksualitas dan Bangsa di Indonesia). Bagi kelompok-kelompok semacam FPI, yang diperlukan hanya satu teriakan keras, penuh ancaman, dan menakutkan, untuk meruntuhkan seluruh bangunan kearifan lokal warisan para pendahulu kita, yakni toleransi terhadap keberagaman. Zaman seperti yang diceritakan bapakku sudah berlalu, dan tak akan pernah kembali…. Catatan Kaki (1). Colin Spenser, Sejarah Homoseksualitas dari Zaman Kuno hingga Sekarang, terj. Ninik Rochani Sjams, Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2004 (2). Benedict Anderson, Kuasa-Kata: Jelajah Budaya-budaya Politik Indonesia, terj. Revianto Budi Santosa, Yogyakarta: Mata Bangsa, 2000. (3). Eeer Asura, Toenggoel, Yogyakarta: Penerbit Tinta, 2005. Lihat juga: Muhammad Zamzam Fauzannafi, Reog Ponorogo: Menari di Antara Dominasi dan Keragaman, Yogyakarya: Kepel Press, 2005. (4). Lihat misalnya Syarifuddin, Mairil: Sepenggal Kisah Biru di Pesantren, Yogyakarta: Penerbit P_Idea, 2005. ? 2 Comments Posted in Uncategorized Tagged Forum Umat Islam, Front Pembela Islam, Homoseksualitas di Indonesia, Konferensi ILGA Cuek tapi Ngondek Posted on November 26, 2009 | Leave a comment Bagian yang paling menyenangkan dari nongkrong di ruang-ruang publik urban kosmopolitan seperti kafe atau foodcourt adalah ketika melihat dan dilihat orang atau rombongan lain. Menerka-nerka kaos mereka beli di distro Tebet atau Top Man, mencela celana jins mereka yang bawahnya megar (hari gini, skinny jeans dong!), dan kalau perlu mencuri-curi dengar obrolan mereka lalu mengomentarinya dengan bitchy adalah hal-hal yang membuat kita selalu awet muda. Namun, yang paling seru dari semua itu adalah ketika kita mamasti-mastikan apakah cowok itu, yang berjalan berdua dengan ceweknya, atau rame-rame tapi dia sendiri yang cowok, atau bersama teman-teman yang semuanya cowok, gay atau bukan. Dan, jawabnya selalu, “Ya iyalah bok, cowok beredar di Grand Indonesia usai jam kantor, dengan kemeja kerja yang ketat dan celana bahan model pinggul, rambut spike dan tas selempang, mana mungkin bukan gay?” Pria-pria straight pasti pulang kerja tepat waktu untuk segera bertemu dengan istri dan anak-anaknya. Permainan menghakimi secara sepihak dan subjektif itu menjadi semakin asik ketika cowok yang sedang menjadi sasaran itu secara “penampakan” tergolong sulit diidentifikasi. Taruhlah dia memang modis dan sebagainya, ya itu sih udah pasti, mana ada cowok sekarang yang tidak terobsesi dengan fashion? Tapi, tantangan terbesar dari permainan “menuduh” orientasi seksual seorang cowok ini terletak pada pembawaan si “korban”. Soalnya, banyak cowok yang gayanya tuh cuek abis, kalau lagi melintas di depan orang bener-bener nggak mau nenggok, matanya lurus ke depan kayak nggak peduli dengan apa pun di sekitarnya. Nah, kalau nemu yang kayak gitu, biasanya terjadillah perdebatan seperti ini: “Wah dia straight, bok!” “Jalan berdua ama cewek aja belum jaminan, apalagi ini rame-rame dan semuanya cewek kecuali dia.” “Tapi, orangnya cuek banget gitu!” “Halah, cuek! Iya sih, emang cuek…tapi ngondek.” Hahaha. Ah, dasar, memang selalu ada cara untuk memaksakan kesimpulan bahwa cowok itu, yang sedang berjalan menuju ke mari itu, nah iya bener yang itu, yang pakai kaos lengan panjang garis-garis hijau itu, pastilah gay. ? Leave a comment Posted in Uncategorized Shirtless Efron Posted on September 3, 2009 | 2 Comments Tak perlu kata-kata. Nikmati saja. Ha ha zac ? 2 Comments Posted in Uncategorized Mencermati Lelaki Dalam 39 Menit Posted on November 11, 2008 | 2 Comments hongaria-tari-bs Oleh Adi Marsiela (tulisan ini diambil dari beritaseni.com) Panggung gelap. Suara orang berbincang-bincang menggema bersamaan dengan terbukanya tirai yang menutupi panggung itu. Seberkas sinar dari sudut kanan belakang menyorot seorang penari yang kepalanya nyaris botak. Tanpa bicara, dia berjalan dan melilitkan tubuhnya pada satu dari tiga tali yang menjuntai ke bawah di atas panggung Gedung Kesenian Sunan Ambu Sekolah Tinggi Seni Indonesia, Bandung, Sabtu (1/11/08) malam. Tali itu dimainkannya dengan luwes sembari tubuhnya bergerak meliuk-liuk. Sesekali dia bergelayutan ke kiri dan kanan panggung. Tali itu juga dia panjat, layaknya seorang pemain sirkus saja. Seorang penari lain yang sudah tergelantung dan terlilit di tali yang tengah sejak panggung itu dibuka mulai melepaskan diri. Dia berputar seperti gasing yang baru dilepas dari talinya. Pria ketiga, yang nyaris telanjang, muncul dari kanan panggung. Dia mengambil tali yang terdekat dengannya dan langsung menggelayut. Begitulah kelompok tari Compagnie Pal Frenak mengawali koreografi yang diberi judul “Les homes caches” atau para lelaki yang tersembunyi. Selama 39 menit, empat penari, masing-masing Zoltan Fekete, Balasz Baranyai, Valentin Bellot, dan Nelson Reguera berceloteh soal pria lewat gerakan tubuhnya. Panggung yang cukup besar itu, mereka kuasai dari depan ke belakang, kiri ke kanannya. Mereka menjadikan panggung itu seperti alam bawah sadar manusia. Lewat alam pikiran itu, para penari ini mengajak penonton merefleksikan kembali pemikirannya soal keberadaan pria dalam hubungan sesama manusia. Identitas maskulin tampak jelas saat mereka semua baru memasuki panggung. Dengan bertumpu pada tali, dua di antara empat penari itu melakukan gerakan memutar. Berputar seperti baling-baling dan kemudian tergantung di tali karena terlilit. Seperti itulah kehidupan, tidak bisa bergerak sendiri, harus tergantung pada orang lain sebagai mahluk sosial. Para penari ini juga melihat setiap pria itu pada dasarnya adalah sosok yang sering terjebak dalam pilihan-pilihannya sendiri. Ada yang kemudian menyesalinya, ada yang menjalaninya, dan ada yang tidak puas terhadap dirinya sendiri. Kondisi ini mereka tampilkan dengan melilit seseorang di antaranya dengan tiga tali yang ada. Buat Pal Frenak membicarakan pria tidak bisa dilepaskan dari kebutuhannya akan teman hidup. Baik itu yang berbeda jenis kelamin atau tidak. Bagian ini dia realisasikan ketika para penari melilitkan tali ke tubuhnya dan bergerak dengan centil. Mereka menggoda setiap penonton yang hadir lewat mimik dan gerakan tubuhnya. Musik yang menjadi penanda buat mereka dalam menari ternyata menjadi pelengkap koreografi ini. Saat para penari menjadi centil, musik blues yang menjadi pengiringnya bercerita tentang banyaknya pria di dunia ini tapi tetap tidak berarti tanpa keberadaan perempuan. Berbicara soal perempuan, dalam pandangan koreografer kelahiran Budapest ini dalam diri setiap lelaki juga ada sifat feminim. Meski sifat yang satu itu tidak ditunjukkannya secara jelas. Zoltan mengapresiasinya dengan berpakaian dan berjalan seperti seorang model di atas catwalk. Tapi dia berjalan dengan memakai sepatu bot yang menggambarkan sifat kelaki-lakiannya. Demikian juga dengan gerakan tarinya, sekilas tegas, sekilas lembut. Sifat kekanak-kanakan juga ditampilkan malam itu. Terlalu harfiah memang ketika para penari hanya mengenakan celana pendek memasang dot di mulutnya. Mereka juga berpose seperti layaknya binaragawan seolah menggambarkan anak-anak yang suka saling menjagokan dirinya. Padahal di akhir pertunjukan mereka membebaskan setiap penonton untuk memaknai koreografi yang sudah diciptakan sejak empat tahun lalu itu. Hal yang sama terulang saat mereka hendak bercerita soal kerapuhan kaum adam ini. Sorot lampu ada atas terfokus di kiri panggung. Hanya terlihat tiga punggung dengan tangan membekap dari arah depan. Seperti gambaran orang yang terpuruk di tempat terdalam dan terjauh. Penonton melihatnya dari depan panggung seperti orang yang berpelukan. Memang cukup banyak hal yang ingin diceritakan dalam karya ini. Seperti keinginan koreografernya sendiri untuk ‘mengeluarkan’ apa-apa yang tersembunyi dalam diri setiap para lelaki. ? 2 Comments Posted in Uncategorized Balada Pria-pria Plaza Indonesia Posted on September 25, 2008 | 1 Comment kapan terakhir kau dengar kata ‘dandy’? di plaza indonesia atau sency semua cowok berwajah beauty goody bag di tangan kanan mengempit tas besar di ketiak kiri keluar-masuk gerai demi gerai berbaur dengan ibu-ibu bersasak tinggi “jeng, jeng ada midnigt sale lagi!” seseorang bicara di telepon mengabari handai taulan di seluruh pelosok city jangan lupa habis ini ngupi-ngupi segafredo is so ninety exselco? plis deh, hari gini? starbuck pilihan bijak nan kiwari tempat ngumpul brondong masa kini sapa tahu ada yang nyantol di hati bisa dibawa pulang naik taksi ajak makan dulu di sushi tei sebelum nanti malam ditiduri apalagi yang dicari buang jauh-jauh basa basi pun hipokrisi hidup hanyalah mampir ngewi kalau beruntung dapat model-tivi zaman lagi susah gini apa-apa kalau bisa mesti gratis tapi kalau lagi apes terpaksa ke belakang sizzler 300 ribu sudah dapat yang secakep herjunot ali minus AIDS, sudah barang pasti ? 1 Comment Posted in Uncategorized Brondong-brondong Berkemeja Posted on July 7, 2008 | 3 Comments Ada apa dengan brondong-brondong berkemeja? Nggak ada apa-apa sih. Seneng aja ngeliatnya. Cowok-cowok yang belum lagi genap berusia 17 tahun, mengenakan kemeja warna gelap, motif kota-kotak atau pun garis-garis, terkesan “tua” tapi justru memberi akses lain pada penampilan mereka. Dewasa dalam penampakan, semakin membuat wajah-wajah mereka tampak imut, polos, bersahaja dan tak berdosa. Gambaran masa depan yang gemilang, optimis, sukses, mapan. Namun, lihat bagaimana ujung-ujung kemeja itu dibiarkan keluar dari celana, menjuntai, sedikit kepanjangan, nyaris menutupi pantat mereka. Rapi tanpa terkesan formal, sopan tapi tetap “memberontak”. Angkuh tapi mengundang, cuek dan oleh karenanya justru menggoda. Misteri yang tersimpan, teki-teki yang siap dipecahkan. ? 3 Comments Posted in Uncategorized Jakarta Great Sale 2008: Surga bagi Binan? Posted on July 4, 2008 | 4 Comments Binan-binan kelas menengah Jakarta berhamburan dari sarangnya, kata seorang teman. Agak lama saya mencerna kalimat yang meluncur mulus dari bibirnya yang basah berkilau oleh lipglos itu. Saya perlu mengurai satu per satu kata-katanya untuk bisa memahaminya. Maklum, teman saya yang satu ini tergolong gay intelektual yang gemar mengumbar kalimat-kalimat bersayap yang mengandung unsur sinisme tinggi sehingga jika tidak hati-hati menafsirkannya bisa celaka. Pertama, binan-binan. Ini bahasa pergaulan untuk “menghaluskan” kata “gay”. Tahu dong, kalau kau sedang bicara di tempat umum yang ramai, terus tiba-tiba ada yang menyelipkan kata gay di tengah obrolan, dijamin banyak mata dan telinga di sekeliling mendadak waspada, curiga dan penuh prasangka. Jadi, perlu sedikit pengelabuhan dengan eufemisme, meskipun kata binan sendiri sebenarnya jauh lebih “kasar” sebab itu berasal dari kata banci–>>binanci–>>binan. Padahal gay kan tidak sama dengan banci. Waduh, jadi kuliah etimologi nih hehehe. Kedua, kelas menengah. Segala puji bagi Karl Marx. Terbukti, tak satu hal pun di muka bumi ini bisa lari dari realitas kelas. Termasuk, kaum gay pun berkelas-kelas ya, bok. Yuukkk. Dan, kelas menengah itu artinya kurang lebih ya mereka yang punya karier mapan, gaji tetap yang lumayan, gaya hidup kosmopolitan. Pendek kata, mereka biasa keluar-masuk mall, ngrumpi di Starbucks dan rutin clubbing di Centro. Ketiga, Jakarta. Masih perlu penjelasan? Kota tercinta, surga bagi segala hasrat baik yang paling terang dan mulia sampai yang paling tersembunyi dan bejat. Tapi, apa bedanya coba? Keempat, berhamburan (+ keluar dari sarangnya). Aduh ini kita sedang ngomongin apa atau siapa sih? Kok kedengarannya kayak lagi membahas soal burung atau ayam gitu ya. Lagian, kalau binan-binan Jakarta dibilang berhamburan dari sarangnya, memangnya selama ini mereka mengeram di mana? Hahaha. Jadi, sebenarnya, ceritanya, teman saya itu sedang ngomongin tentang riuhnya mall-mall selama program great sale dalam rangka ultah Jakarta bulan ini. Menurut dia, great sale ini selain merupakan berkah bagi ibu-ibu bersasak, juga menjadi surga bagi para gay. Tentu saja saja, meskipun mungkin tidak tergolong gay intelektual, saya langsung menukas tanda tidak setuju dengan pendapatnya. Ini kan strereotip namanya. Gay selalu diindentikkan dengan aktivitas yang bernuansa konsumtif dan hedonis. Ini tidak fair. Saya langsung menyerang intelektualitas teman saya itu, yang mestinya bisa berpikir lepas dari mitos-mitos seperti itu. Tapi, dengan gaya seorang “great debater” seperti biasanya, teman saya dengan mudahnya menumbangkan semua keberatan saya. “Alaaa nggak usah bicara stereotip, mitos. Lihat saja langsung ke Plaza Indonesia, Senayan City, Plaza Senayan, Grand Indonesia, Plaza Semanggi…sejauh mata memandang hanyalah binan, binan dan binan. Mereka seperti anak kecil yang sedang melompat-lompat sambil jejeritan di bawah guyuran hujan balon di acara pesta ulang tahun teman dekat.” “Lho mereka berhak dong berpesta, secara mereka kan sudah kerja keras banting tulang. Ini saatnya mereka memberi hadiah bagi diri mereka sendiri. Dan, sadarkah dirimu, mungkin saja sebagian dari mereka adalah orang-orang yang tidak diterima oleh keluarganya, terusir dan harus menghidupi diri sendiri? Mungkin perilaku belanja mereka yang, yeah terkesan lupa diri atau apalah istilahnya, itu tak lain sebentuk perlawanan juga, semacam dendam pada lingkungan yang menolak diri mereka, usaha untuk menunjukkan pada dunia, hei gue bisa lho hidup sendiri secara layak walau tak diterima di mana-mana dan terbuang.” “Kamu terlalu heroik. Kenyataaanya nggak serumit itu kok. Ini semata hasrat yang tak terbendung dari manusia-manusia egois yang hanya tahu memikirkan dirinya sendiri, gak peka apalagi peduli dengan lingkungannya yang sedang didera kesusahan hidup akibat kenaikan harga BBM.” “Aiiihh omonganmu tak ubahnya pengamat-pengamat di talkshow televisi yang nggak pernah menginjak bumi itu. Seolah-olah paling tahu tentang kesusahan rakyat padahal dirinya sendiri hidup di menara gading yang tak tersentuh oleh apa pun. Ayolah, lebih santai saja melihat semua ini. Kenapa sih selalu harus mengkontraskan dua hal yang memang punya ‘alam logika’ yang berbeda. Kenaikan BBM adalah satu hal, dan orang-orang yang kalap oleh great sale adalah hal yang lain…” Teman saya terdiam. Agak lama. Saya jadi punya kesempatan untuk memikirkan semua omongan saya tadi. Mungkin teman saya benar. Mungkin saya termasuk yang tidak peka dan peduli lingkungan itu. Tapi, mengapa sih segala sesuatu mesti dikontraskan satu sama lain? Bukankah semua hal selalu bisa dilihat dari sudut yang lain, dengan cara yang berbeda? Kutinggalkan teman saya itu. “Hei, mo ke mana?” “Belanja lah, mumpung great sale!” “Ikut dooong! Ke Zara dulu ya, kemarin udah ada yang aku incer. Terus abis itu ke Gap ya. Oh ya, ada sepatu di Puma yang harganya 800 jadi 400, tar ke sana juga ya, siapa tahu masih ada.” Saya langsung bengong. Dasar binan! ? 4 Comments Posted in Uncategorized Afgan di Antara Olga dan Indra Bekti Posted on July 2, 2008 | 6 Comments Olga terlihat sangat puas bisa mencium pipi kiri dan kanan Afgan. Sementara penyanyi belia yang baru saja membawakan hits-nya, Terimakasih Cinta itu hanya bisa bengong, tampak sedikit kaget, seperti tak menyangka, seperti ada sesuatu yang baru saja dicuri dari dirinya tanpa ia bisa mempertahankannya. Indra Bekti yang muncul di belakang Olga segera menetralisir suasana. “Eh, kok cium-cium sih, dia kan normal, Ga.” Yang merasa sedang ditegur langsung melotot, “Gue juga normal. Emangnya nggak boleh laki ciuman ama laki?” Afgan tersenyum culun, lalu turun dari panggung. Bekti dan Olga melanjutkan tugasnya, membawakan acara ulang tahun sebuah grup media besar yang disiarkan secara langsung oleh RCTI, Minggu (29/6) pukul 9 pagi itu. Olga membacakan pantun untuk memberi ucapan selamat ulang tahun kepada tuan rumah. Lalu, Bekti dengan antraktif bertepuk tangan dan memeluk Olga usai membacakan pantunnya. Giliran Olga membalas, “ Eh, jangan peluk-peluk dong, ntar kita ada di internet lho,” lalu keduanya tertawa, seperti sedang menertawakan sesuatu. Hahaha. Saya suka lawakan mereka yang entah mereka sadari atau tidak, mereka sengaja atau tidak, telah meledek media massa yang tak henti-hentinya menjadikan isu identitas seksual artis sebagai komoditas gosip murahan. ? 6 Comments Posted in Uncategorized Takkan Kubiarkan Kesendirian Membunuhku Posted on June 27, 2008 | 3 Comments Dia tidak begitu cakep, dan usianya juga sudah bukan remaja lagi. Mungkin dia seorang make up artist yang sedang sepi job sehingga bisa berjalan-jalan pada jam ketika orang lain sibuk dan suntuk menyelesaikan tugas-tugas di kantor. Dia mengenakan topi, bercelana jins model masa kini yang berkantong belakang lebar dan tas selempang Billabong asli menggelayut di bahunya. Kaos distro membuat dia tampak lebih muda dari usia sesungguhnya. Beberapa menit lagi genap jam 11. Dia baru saja keluar dari areal kolam renang, dan sambil membayangkan pria yang tadi mandi bilas di sebelahnya, dia berjalan ke bagian depan kompleks plaza di Kuningan itu. Melintas di depan gerai toko buku bekas, dia berlalu begitu saja, lalu berdiri di depan lorong menuju fitness centre. Di depan tempat olah kebugaran itu ada toilet yang biasa dimanfaatkan oleh lelaki-lelaki penyuka sesama jenis menyalurkan kegemarannya “menyontek”. Dia tidak masuk ke toilet itu, dan hanya berdiri saja di depan lorong, gamang, seperti mencari sesuatu, seperti menunggu seseorang. Sejenak dia melemparkan pandangannya ke depan, ke arah kerumunan atlet-atlet basket yang sedang bersiap untuk latihan. Dia memperhatikan tubuh-tubuh tegap berlengan putih jenjang dan terbuka. Pada menit berikutnya, dia sudah mengalihkan pandangannya ke arah jalan. Terlihat beberapa lelaki yang tadi berenang bersamanya, termasuk yang mandi bilas di sebelahnya. Pada hari biasa, di saat jam kerja seperti ini, kolam renang itu ternyata ramai juga oleh pria-pria gay. Apakah mereka tidak bekerja? batinnya. Ah, mungkin pria-pria itu juga punya pertanyaan yang sama atas diriku. Tak jauh dari tempatnya berdiri ada sebuah warnet, dan dia sempat menatap pintu seolah tergoda untuk masuk. Tapi, selepas memperhatikan atlet-atlet tadi, dia melangkah menaiki tangga, menuju plaza. Melewati teras sebuah coffee shop dia sempat melirik tiga cowok yang duduk di situ, dan tatapannya bermuara pada satu yang berjaket sport kuning, berkacamata dengan rambut gondrong tipis ala Jepang. Tatapan matanya beradu beberapa detik dengan objek yang diperhatikannya namun dia tahu tidak ada alasan untuk berhenti, menyapa atau melakukan sesuatu yang sebenarnya dia inginkan. Harus ada alasan yang jelas untuk berkenalan dengan seseorang yang bahkan sudah kau yakini punya orientasi seksual yang sama denganmu. Dia berlalu, menuju ke gerai DVD bajakan. Dia melihat-lihat judul-judul DVD yang tertata rapi di rak sambil sesekali menoleh kembali ke arah cowok berjaket kuning. Dia hanya bisa melihat punggungnya. Sampai pada tolehan kesekian, cowok itu sudah menghilang entah kenapa, dan entah mengapa dia merasa kehilangan, merasa telah melewatkan sebuah kesempatan yang dia yakini terbuka untuknya, untuk segala yang bisa dan mungkin dilakukannya. Tiba-tiba dia merasa sangat bosan, dan berbalik badan meninggalkan tempat itu, melangkah melewati teras coffee shop yang tadi, yang menyisakan kursi-kursi kosong. Dia menuruni tangga yang sama, untuk kemudian tanpa tujuan yang pasti mendorong pintu warnet dan masuk pelan-pelan. Waktu makan siang masih beberapa menit lagi, dan hari masih panjang. Ia tak ingin kembali ke kamar kontrakannnya cepat-cepat –tidak di saat dirinya sedang terbebas dari kesibukan kerja, dan bisa melakukan apa saja yang diinginkannya. Tapi, mengapa mencari satu orang kenalan saja, yang sesuai dengan kriteria yang diinginkannya, begitu susah? Dia merasa cukup tampan untuk pilih-pilih. Dia tahu, lelaki yang tadi mandi bilas di sebelahnya memperlihatkan tanda-tanda tertarik padanya. Dia ingat lelaki itu berkali memelorotkan celananya dan memamerkan penisnya, dan dia menanggapi dengan melakukan hal yang sama. Tapi, semua itu bukan berarti dia tertarik pada lelaki itu. Bukan tipenya. Bukan tipe yang diinginkan untuk diajaknya tidur bersama. Dia masuk ke chat room dan mulai melancarkan aksinya, tapi baru sebentar dia sudah merasa sangat bosan. Belum pernah dia merasa sebosan ini. Kini dia menyesali hari liburnya. Tiba-tiba dia ingin, hidupnya hanya diisi dengan kerja, kerja dan kerja sehingga dia bisa melupakan hasrat-hasrat lainnya. Apakah hidup sudah seputus asa itu? Tidak, dia menepis suara hatinya sendiri dengan keras. Dia bangkit, membayar ongkos warnet dan melangkah keluar, memandang langit lepas sambil berpikir, dia bisa melakukan apa saja yang ia mau, mendapatkan apa saja yang dia ingin, sekarang juga. Takkan kubiarkan kesendirian ini membunuhku. ? 3 Comments Posted in Uncategorized Sosiologi Toilet *) Posted on June 25, 2008 | 4 Comments Beberapa teman-jalan-malam-minggu saya punya kebiasaan yang menyebalkan setiap kami janjian untuk ketemuan. Saya sudah menunggu agak lama -kalau saya yang datang duluan- eh, giliran dia datang, tidak langsung menemui saya, tapi melambaikan tangan dari jauh, memberi isyarat bahwa dia akan ke toilet dulu. Tujuannya: ngaca, merapikan rambut, dan kalau perlu cuci muka. Gara-gara berteman dengan beberapa orang yang memiliki kebiasaan seperti itu, saya jadi paham mengapa toilet-toilet di mal-mal di Jakarta diberi label restroom. Atau, bahkan ada yang cuma “men’s room”/”women’s room”. Artinya, fungsi toilet bukan sekedar untuk buang air, besar maupun kecil. Dalam bahasa yang lebih ‘ngelmu’, toilet memiliki fungsi sosial yang cukup luas. Saya jadi ingat toilet di sekolah saya dulu yang dinding-dindingnya penuh coretan. Ada gambar hati ditembus panah, ada nama-nama perempuan dan laki-laki dan ada pernyataan-pernyataan yang bersifat pribadi. Setiap membaca coretan-coretan itu, dulu, saya sering mikir, kok ya sempat-sempatnya orang yang melakukan itu. Apakah mereka memang niat dari awal, sehingga ketika hendak buang air menyiapkan pulpen/spidol di kantong? Bertahun kemudian, setelah mendapat kuliah Pengantar Sosiologi, saya baru bisa mengatakan bahwa itulah salah satu fungsi sosial toilet umum. Termasuk toilet di sekolah. Bahkan, semasa kuliah itu, saya melihat toilet di kampus pun -yang penghuninya notabene orang-orang yang dicitrakan sebagai kelompok intelektual- tak luput dari graffiti-grafiti konyol. Salah satu adegan dalam film Janji Joni karya Joko Anwar dengan sangat baik menggambarkan fungsi sosial lain dari toilet. Yakni, sebagai salah satu arena bagi berlangsungnya salah satu bentuk ikatan sosial: bergosip. Mungkin Anda sendiri melakukannya. Begitu keluar dari bioskop, Anda biasanya setengah berlari ke toilet dan di situlah, sambil berdiri di urinoir membuang air kencing, Anda membicarakan film yang baru saja Anda tonton dengan teman atau pasangan Anda. Pada masa-masa awal saya meniti karier (ceileee!) kewartawanan di Jakarta, saya mendengar dari teman saya, seorang wartawan tabloid ‘esek-esek’ bahwa toilet di Blok M Plaza sering digunakan oleh cowok-cowok gay mencari mangsa. Mereka bahkan melakukan aksinya di situ, baik sekedar saling melihat penis atau lebih jauh lagi, seks oral. Belakangan saya tahu, saling melihat penis itu namanya “nyontek”, dan melakukan hubungan seks kilat (apa pun bentunya) itu istilahnya “cruising”. Dan, belakangan saya tahu lebih banyak lagi. Bahwa toilet umum merupakan titik penting bagi perjumpaan sosial kaum gay metropolitan. Tidak hanya toilet mall, melainkan hampir semua toilet yang terbuka untuk publik, dari masjid hingga terminal! Saya ingat, pada awal 2000-an, sebuah tabloid di Jakarta melaporkan adanya sejumlah gay yang suka beraksi di urinoir Masjid Istiqlal yang memang “sangat terbuka” dan memungkinkan pria-pria gay “menyontek”. Lama kelamaan aksi sembunyi-sembunyi itu terendus, dan pihak masjid pun membuat pun melakukan langkah preventif dengan membuat sekat-sekat pada urinoir tersebut. Pantauan terbaru saya belum lama ini ke toilet Terminal Blok M yang kumuh, ternyata juga mendapati jejak-jejak aksi kaum gay. Pada toilet yang berbilik (baca: kamar mandi) terdapat coretan-coretan di dinding berupa nama dan nomer telepon dengan tambahan informasi serupa “butuh brondong” atau “melayani oral seks”. Pusat-pusat keramaian di Jakarta, dalam aneka bentuk dan sebutan, dari mall hingga town square, telah melahirkan komunitas-komunitas gay yang memang tak pernah henti mencari ruang-ruang sosialisasi. Toilet barangkali hanya bagian kecil, dan mungkin tahap awal, dari modus sosialisasi itu. Di toilet, kau tak perlu kenal siapa lelaki di sebelahmu, dan tanpa perlu saling menyebutkan nama terlebih dahulu, kau sudah langsung bisa melihat seberapa besar penisnya, apa warnanya dan sebagus apa bentuknya. Ini tentu gambaran ekstremnya. Orang bisa menyebut itu seks instan, atau petualangan, tapi setiap orang -saya percaya- cukup dewasa untuk tahu apa yang dilakukannya. Saya punya teman yang bahkan diajak ketemuan di mall pun ogah dengan alasan ini dan itu. Tapi, saya juga berteman baik dengan orang yang telah kecanduan “nyontek”, bahkan “cruising” di toilet. Dia, teman saya yang ini, hafal wajah orang-orang yang suka “main” di toilet Plaza Indonesia (dan E.X), Ada bule tua, dan ada juga brondong, katanya. Teman saya pernah mencoba hampir semua dari mereka, baik cuma “contek-contekan”, atau sekedar pegang-pegangan sampai tegang, maupun oral. Di dalam toilet yang berdinding? Tidak, melainkan ya di depan deretan urinoir itu. Menurut dia, kalau di dalam toilet yang berdinding justru berisiko lebih besar karena kalau ketahuan mau lari ke mana? Sedangkan, kalau di luar, maksudnya di depan urinoir yang terbuka, bisa mengantisipasi kalau sewaktu-waktu ada orang masuk. Begitu terdengar suara pintu dibuka, langsung berhenti dan pura-pura kencing lagi, katanya. Apa tidak takut kepergok satpam? Apa tidak begini? Apa tidak begitu? Kalau begini gimana? Kalau begitu gimana? Pertanyaan saya tak ada habisnya, tapi teman saya selalu punya jawaban yang membuat segalanya seolah-olah begitu sederhana. Memang susah membayangkannya, tapi teman saya menceritakannya dengan wajah yang berseri-seri, menandakan bahwa ia sangat berpengalaman dan menikmati petualangannya itu. *) tulisan ini diambil dari http://mumualoha.blogspot.com atas izin –dan telah diperbarui dengan data-data baru oleh– pemiliknya. ? 4 Comments Posted in Uncategorized ? Older posts * December 2011 M T W T F S S « Mar 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 * Archives o March 2010 o November 2009 o September 2009 o November 2008 o September 2008 o July 2008 o June 2008 * Recent Posts o Homoseksualitas: Kenangan Zaman Bapak Saya o Cuek tapi Ngondek o Shirtless Efron o Mencermati Lelaki Dalam 39 Menit o Balada Pria-pria Plaza Indonesia * Tags Forum Umat Islam Front Pembela Islam Homoseksualitas di Indonesia Konferensi ILGA * Blogroll o WordPress.com o WordPress.org Theme: Coraline by Automattic. Blog at WordPress.com. Follow Follow things are queer Get every new post delivered to your Inbox. Powered by WordPress.com

No comments: