Wednesday, May 9, 2007

barack obama


ISI ARTIKELBarack Obama, Superstar Politik Jalan TengahMinggu, 11 Maret 2007Tanggal dimuat: 3 April 2007

Setiap generasi di Amerika Serikat tampaknya selalu memunculkan seorang superstar politik. Kali ini Barack Obama, 45 tahun, yang tampil mengisi peran itu. Ia muncul secara tak terduga dan dalam waktu relatif singkat mampu mengubah peta politik, menumbuhkan harapan dan gairah baru.
Demokrasi Amerika menjadi semakin hidup. Hillary Clinton telah membuka kemungkinan bagi sebuah sejarah baru, presiden perempuan pertama di negeri Paman Sam. Kini Obama juga menjanjikan hal yang sama: presiden kulit hitam pertama di negeri yang sama.
Konvensi Partai Demokrat dan pemilu presiden memang masih setahun lagi, tapi sejak saat ini pun daya tarik kompetisi politik yang dilakoni oleh tokoh-tokoh menarik dan berbakat (di Partai Republik ada Rudy Gulliani, pahlawan peristiwa 9/11, dan John McCain, pahlawan Perang Vietnam) sudah mulai mencuri perhatian publik.
Di kalangan Partai Demokrat sendiri, kemunculan Obama tak urung membuat kubu Hillary Clinton kalang kabut. Semula senator dari New York dan mantan First Lady ini dianggap sebagai kandidat teratas. Akan tetapi, sekarang posisi itu mulai goyah, dan momentum politik beralih ke Obama.
Obama yang melewati masa kecilnya di Indonesia ini (dia menyebut dirinya sebagai Jakarta’s street kid) sekarang sedang menunggangi gelombang pasang yang terus membawanya ke posisi yang semakin tinggi. Di mana letak kekuatan superstar baru ini?
Sama dengan Bill Clinton dan Ronald Reagan sebelumnya, Obama memiliki kemampuan sebagai orator dengan pribadi yang karismatik. Kefasihan dan caranya berbicara, tekanan suaranya, tatapan matanya, gerak tubuhnya: semua elemen-elemen dasar ini saling memperkuat dan memunculkan citra seorang pemimpin yang sungguh-sungguh, kredibel, menawan, dan membangkitkan simpati serta harapan sekaligus. Kekuatan karisma inilah yang melembutkan kritik yang banyak ditujukan terhadapnya sebagai seseorang yang masih hijau dalam panggung pemerintahan.
Selain itu, pengalaman hidupnya juga merupakan manifestasi The American Dream itu sendiri. Sama seperti Colin Powell, dari keluarga menengah bawah Obama berhasil meniti tangga sukses menjadi senator kulit hitam ke-3 dalam sejarah AS, setelah sebelumnya menjadi dosen di Universitas Chicago, senator di Negara Bagian Illinois, dan presiden dari jurnal bergengsi, Harvard Law Review, sewaktu ia masih belajar di Universitas Harvard, salah satu perguruan tinggi terbaik di AS. Publik Amerika mudah jatuh hati pada cerita sukses semacam ini, apalagi oleh seorang anak muda kulit hitam yang tak suka mengeluh dan menyalahkan situasi di sekelilingnya, termasuk sejarah perbudakan di Amerika.
Penulis besar
Tidak kurang dari semua kelebihan yang dimilikinya, daya tarik Obama terletak pada ide-ide yang dilontarkannya dan kemampuannya sebagai seorang penulis. Memoar yang ditulisnya sepuluh tahun lalu, Dreams from My Father, tentang masa kecilnya hingga menyelesaikan kuliahnya, tentang keluarga dan lingkungan dekatnya di Chicago, kini menjadi bestseller dan oleh kolumnis terkenal majalah TIME, Joe Klein, dianggap sebagai salah satu memoar terbaik yang pernah ditulis seorang politisi Amerika. Dengan memoar semacam ini, jika Obama tidak meniti karier di dunia politik, barangkali ia tetap bisa tumbuh dan mengukir nama harum sebagai salah satu penulis besar Amerika.
Bukunya yang terbaru, The Audacity of Hope, dalam waktu singkat juga telah menempati posisi bestseller. Sama dengan Dreams, dalam buku ini kita bisa melihat betapa Obama memiliki sensibilitas yang tinggi terhadap dimensi-dimensi manusiawi dari setiap persoalan yang ditemuinya. Ia sangat peka terhadap ironi dan tragedi dalam interaksi sosial, serta mampu menceritakan semua itu dalam penuturan yang sederhana namun cerdas dan mengalir mengenai orang-orang yang pernah bersentuhan dengannya.
Namun, berbeda dengan buku sebelumnya, kali ini Obama menulis tentang dunia kebijakan, politik, masalah sosial, agama, hingga hubungan internasional. Ia menulis dengan mata yang tertuju pada Gedung Putih, dan karena itu menawarkan sebuah platform kebijakan dari seorang kandidat presiden. Dan, dalam melakukannya, ia tidak terjebak dalam analisis-analisis yang kering, tetapi membingkainya dengan anekdot, cerita, dan ungkapan-ungkapan yang memberi jiwa pada analisis-analisis tersebut.
Di situlah terletak salah satu kekuatan buku ini. Setiap persoalan politik atau isu kebijakan selalu dimulai dan diakhiri dengan cerita tentang manusia, tentang kepedihan dan harapannya, tentang kekuatan dan kelemahannya. Di sini ia memperlihatkan bahwa dunia politik dan kebijakan tidak berada di ruang hampa, tetapi berhubungan langsung dengan nasib dan kehidupan manusia-manusia yang riil.
Politik jalan tengah
Dari segi substansi dan spektrum ide-ide yang ditawarkannya, Barack Obama bisa digolongkan sebagai politisi moderat dari tradisi liberal Amerika. Atau secara lebih sederhana ia bisa disebut sebagai the third way politician, politisi jalan tengah dalam tradisi yang telah dirintis Bill Clinton dan Tony Blair. Hal inilah yang membedakan Obama dengan banyak politisi kulit hitam yang cenderung memilih garis ekstrem, baik di kiri (Jesse Jackson) maupun di kanan (Alan Keyes).
Dalam membangun ekonomi Amerika, ia mengakui pentingnya peran mekanisme pasar, namun ia tetap ingin mengembangkan peran negara yang sehat dan efektif. Dalam kehidupan keagamaan, ia bisa bersimpati terhadap kaum konservatif, namun ia mengerti betul bahwa tradisi sekularisme Amerika adalah tradisi sakral yang harus terus-menerus diperkuat. Dalam menjembatani perbedaan kaum Demokrat dan kaum Republikan, ia ingin membangun a vital center, sebuah konsensus bersama yang mempertemukan secara kreatif pandangan-pandangan yang bertentangan.
Hampir dalam setiap isu, hal semacam itulah yang kita temui dalam buku setebal 375 halaman ini. Intuisi Obama adalah mencari moderasi dan jalan tengah. Ia ingin merangkul sebanyak mungkin kalangan. Untuk itu, ia bahkan sanggup mencari kebenaran pada lawan-lawan politiknya dan mengakui bahwa kaum Republikan sering kali memiliki pandangan yang lebih baik.
Kaum pengkritik Obama barangkali dapat menemukan titik lemah dalam pandangan dan intuisi seperti itu. Sebagian orang bisa berkata bahwa intuisi demikian sudah menjadi sebuah obsesi. Sementara sebagian lagi dapat menuduh bahwa jalan tengah bukanlah sebuah jalan keluar, melainkan sebuah pelarian, sebuah jalan pintas untuk menghindari pilihan-pilihan sulit yang harus dilakukan oleh seorang pemimpin.
Kritik demikian cukup mengandung kebenaran. Namun, satu hal yang jelas: Obama bukanlah seseorang yang tidak mampu menghadapi pilihan-pilihan sulit dan selalu menghindari risiko. Ia adalah salah satu dari sedikit politisi yang secara tegas menentang tindakan Bush di Irak yang waktu itu sangat populer. Sekarang, setelah Perang Irak dianggap gagal, hampir semua orang mengecam Bush—tetapi pada saat awal, Obama mengambil risiko besar dengan memilih untuk melawan arus.
Adapun mengenai jalan tengah sebagai proposisi kebijakan, barangkali memang saat ini Amerika lebih membutuhkannya. Sejarah melahirkan aktor-aktornya sendiri. Setelah zaman Bush, Amerika sekarang dahaga akan datangnya seorang pemimpin yang merangkul, seorang heal-maker, seorang yang sanggup membangun jembatan bagi begitu banyak perbedaan yang ada.
Tentu saja, politisi yang piawai harus mampu menjawab persoalan-persoalan praktis. Seorang heal-maker harus juga sanggup menjadi seorang deal-maker. Tanpa itu, ia hanya akan menjadi seorang nabi, bukan pemimpin pemerintahan. Karena itu, yang paling penting adalah akal sehat dan kemampuan untuk melihat fakta sebagaimana adanya. Jalan tengah sebagai sebuah proposisi kebijakan dalam praktiknya ternyata sangat fleksibel. Seperti yang bisa dilihat pada pemerintahan Bill Clinton dan Tony Blair, ia terkadang bergeser ke kanan dalam isu-isu ekonomi karena memang tidak ada lagi pilihan yang lebih baik dalam mengatasi persoalan-persoalan praktis untuk mengangkat kesejahteraan masyarakat di zaman ini. Barack Obama pun akan melakukan hal itu jika ia memang menang dalam pemilu tahun depan. Dan mungkin, kalau membaca tulisan-tulisannya, ia akan melakukannya dengan lebih baik dan simpatik.
Apa pun, cerita tentang Obama masih akan panjang. Untuk saat ini kita patut memberi selamat kepada publik Amerika. Negeri mereka seolah tidak pernah berhenti melahirkan pemimpin berbakat yang penuh inspirasi. Mereka pantas bersyukur. Dan sebagai sahabat, dari jauh kita turut bertepuk tangan.

No comments: