Sunday, October 21, 2012

Pola Pembelajaran Bahasa Inggris di Indonesia

PDF Cetak E-mail Penilaian Pembaca: / 0 BurukTerbaik Ditulis Oleh Andri Suherman 11-10-2012, Bahasa Inggris sebagai salah satu mata pelajaran wajib di jenjang SMP dan SMA pada dasarnya memiliki tujuan membuat peserta didik menguasai 4 kemampuan berbahasa; speaking, listening, writing, dan reading. Namun demikian, dalam proses pembelajaran di kelas, nampak ada keganjilan terkait pada pola pengajarannya. Secara umum, terdapat dua pola yang berbeda dalam pengajaran bahasa Inggris di Indonesia. Pola pertama bertujuan membuat siswa bisa mengerjakan tes tertentu, sementara pola kedua bertujuan membuat siswa bisa berkomunikasi bahasa Inggris dengan lancar. Dalam konteks pendidikan informal, kedua pola ini bisa ditemukan pada 2 jenis lembaga: 1. Lembaga Bimbingan Belajar seperti Ganesha Operation (GO), Primagama, Binaul Fikri (BIFI), dan Enstein College. Guru Bahasa Inggris fokus membuat siswa bisa mengerjakan soal-soal seperti Ujian Nasional (UN) dan Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN). Materinya pun kemudian hanya sebatas mengerjakan soal tata bahasa (grammar) dan wacana (reading comprehension). Bahasa pengantarnyapun menggunakan Bahasa Indonesia 2. Lembaga Kursus Bahasa Inggris seperti Smart English dan FLI Rinjani. Guru Bahasa Inggris fokus membuat siswa bisa berbicara (speaking). Sehingga, Bahasa pengantarnyapun menggunakan Bahasa Inggris. Selain itu, mereka juga mempunyai program bimbingan tes seperti TOEFL yang menguji semua kemampuan berbahasa; speaking, listening, writing, dan reading tentu saja berbeda dari UN dan SNMPTN yang hanya menguji grammar dan reading. Ironis memang jika kita saksikan bersama bahwa guru di sekolah formal meniru pola mengajar pada lembaga bimbingan belajar. Siswa lebih difokuskan mengerjakan soal-soal grammar dan reading. Karena memang soal-soal tersebut akan muncul di UN. Sementara kemampuan speaking dan writing, dianggap kurang sebegitu penting. Karena memang, tidak diujikan di UN dan hanya sebatas ujian praktik. Padahal idealnya cara mengajar yang ditiru guru di sekolah formal semestinya cara mengajar di lembaga kursus Bahasa Inggris. Sehingga tujuan pembelajaran bahasa yang bertujuan membuat siswa bisa berkomunikasi dalam bahasa Inggris baik lisan maupun tulisan, dapat tercapai. Ini kemudian juga menyiratkan indikator kesuksesan siswa belajar bahasa Inggris di sekolah memang bertentangan dengan prinsip dasar pembelajaran bahasa. Siswa yang mendapatkan nilai sempurna saat ujian praktik berbicara dan menulis dalam bahasa Inggris, tetapi memperoleh nilai yang tak memenuhi standar kelulusan UN, dianggap gagal. Akan tetapi siswa yang mendapat nilai mencukupi standar UN, sementara nilainya rendah dalam ujian praktik berbicara dan menulis, dianggap lulus dan berhasil. Tentu bagi yang mengetahui, ini sesuatu hal yang miris. Hal lain yang umumnya juga disalahinterpretasikan adalah kurikulum yang selama ini digunakan. Dalam kurikulum tingkat satuan pendidikan (KTSP) mata pelajaran bahasa Inggris, yang memang mempunyai tendensi, disebut sebagai kurikulum berbasis teks (text based learning curriculum), guru mengasumsikan bahwa siswa harus mendapat porsi lebih banyak pada pemahaman wacana. Apabila dicermati kembali, standar kompetensi yang diminta kurikulum mencakup empat kemampuan dasar berbahasa Inggris; listening, speaking, reading, dan writing. Pendekatan pembelajaran berbasis teks ini, menurut Paul Knight (2009), berasal dari konsep model systemic functional grammar yang juga sebenarnya mengarah kepada penggunaan bahasa dalam interaksi sosial. Pendekatan pembelajaran menggunakan teks dimaksudkan agar siswa mampu memahami budaya. Di mana, bahasa itu digunakan agar siswa mendapatkan model pemakaian bahasa yang cukup (sufficient comprehensible input) yang bisa membantu proses pemerolehan bahasa (Halliday 1973). Hasil akhir yang diharapkan, tentu saja kemampuan menggunakan bahasa untuk berkomunikasi baik lisan maupun tulisan. Kecenderungan salah interpretasi ini bisa terjadi karena banyak guru yang masih menganggap bahwa perangkat pembelajaran yang terdiri atas silabus, rencana pelaksanaan pembelajaran dan materi evaluasi hanyalah berkas formalitas yang perlu disetorkan ke kepala sekolah. Banyak bahkan kemudian yang menggunakan perangkat pembelajaran tahun-tahun sebelumnya atau memanfaatkan forum MGMP sebagai tempat berbagi perangkat pembelajaran. Sehingga, akan terdengar lucu apabila guru dalam satu kabupaten kemudian mempunyai perangkat pembelajaran yang sama. Sementara, fasilitas di sekolah di pusat kota dengan sekolah yang berada di desa sudah bisa dipastikan berbeda. Dengan demikian, perangkat pembelajaran yang digunakan idealnya juga berbeda. Dengan anggapan perangkat pembelajaran sebagai berkas formalitas, maka yang terjadi kemudian adalah ketergantungan guru akan pemakaian buku teks dan lembar kerja siswa (LKS). Tidak jarang bahkan, dalam kegiatan belajar-mengajar di kelas, pertemuan pertama yang dalam pemetaan pembelajaran idealnya mempelajari narrative text tetapi justru guru mengajarkan descriptive text. Hal ini bisa terjadi karena pembahasan pertama dalam buku teks adalah descriptive text dan bukan narrative text. Artinya, guru mengajar berdasar halaman dalam buku teks dan bukan berdasarkan apa yang mereka tuliskan dalam perangkat pembelajaran. Latihan yang diberikan kepada siswa pun kemudian juga berdasarkan latihan yang ada dalam buku teks dan juga LKS yang umumnya adalah soal wacana dan tata bahasa. Apabila guru lalu mengajar hanya berdasarkan halaman di buku dan terfokus pada soal wacana dan tata bahasa, maka sudah bisa dipastikan murid tidak akan memiliki kesempatan untuk mempraktikkan penggunaan Bahasa Inggris dalam komunikasi. Hasilnya, ketika lulus SMP dan SMA, siswa tidak mampu menggunakan bahasa Inggris secara aktif. Terlebih apabila materi dalam buku teks juga tidak sesuai dengan kemampuan siswa. Jadi memang harus di akui bahwa kesalahan pembelajaran model ini sudah terpola. http://citizennews.suaramerdeka.com/?option=com_content&task=view&id=1669

No comments: