Thursday, November 13, 2025

sore

 






Langit sore mulai memudar menjadi kelabu. Pemuda itu masih berdiri beberapa langkah dari makam kakaknya. Hujan sudah berubah menjadi gerimis, seperti air mata langit yang tak tega berhenti. Udara lembap menusuk tulang, tapi hatinya terasa lebih hangat — entah karena kenangan, atau karena bisikan lembut yang tadi seperti datang dari dalam batu nisan itu.

Dia menatap tanah yang mulai tergenang air.
“Mas… kalau aja kamu masih ada,” suaranya lirih. “Mungkin aku gak akan sepi kayak gini.”
Senyumnya getir, tipis sekali, nyaris tak terlihat.
“Mas tahu gak? Aku sekarang bahkan takut pulang ke rumah sendiri. Mama udah beda. Dia cuma lihat aku kayak beban.”

Dia menarik napas panjang.
Bayangan tentang rumah itu menyesakkan dada.
Suami baru ibunya selalu menatapnya dingin, penuh curiga, seolah kehadirannya adalah kesalahan. Dan adik tirinya… anak kesayangan yang selalu benar di mata semua orang.
Setiap kali dia mencoba bicara, semua berbalik menuduhnya.
‘Kamu keras kepala.’
‘Kamu gak tahu diri.’
‘Kamu selalu buat masalah.’

Dia memukul tanah dengan kepalan tangan. “Padahal aku cuma pengen didengar, Mas… cuma itu!”
Tangannya kotor, lumpur menempel di sela-sela jarinya. Tapi dia tak peduli.

Lalu, samar-samar, ia kembali mendengar suara itu.
Tenang. Hangat.
“Dik… Mas dulu juga pernah ngerasa sendirian.”
Pemuda itu terpaku.
“Mas dulu juga nangis diam-diam di kamar, tapi tetap senyum di depan kamu. Karena Mas gak mau kamu lihat Mas lemah.”

Air mata pemuda itu mengalir lagi. “Mas bohong… kamu selalu kuat.”
“Enggak,” suara itu seperti tertawa kecil. “Mas cuma pura-pura kuat supaya kamu punya tempat bersandar.”

Dia menunduk. Bibirnya bergetar. “Sekarang tempat itu udah gak ada, Mas.”
“Masih ada,” bisik suara itu lembut sekali. “Tempat itu sekarang di hati kamu.”

Sunyi kembali menyelimuti. Tapi kali ini, sunyi itu tak lagi menakutkan.
Dia memejamkan mata, membiarkan gerimis menyentuh wajahnya. Seolah setiap tetes membawa pesan dari kakaknya.

“Dik, hidup gak selalu adil. Tapi Mas pengen kamu terus jalan. Jangan berhenti cuma karena dunia nyakitin kamu. Kamu bukan sendirian.”

Pemuda itu tersenyum dalam tangisnya.
Dia berdiri, menatap nisan itu dengan mata yang masih merah, tapi lebih tegas dari sebelumnya.
“Mas, aku janji. Aku bakal kuat. Aku bakal terus jalan.”

Dia menunduk sekali lagi, lalu mengecup ujung nisan itu pelan.
“Terima kasih, Mas.”

Saat dia berbalik pergi, angin berhembus lembut dari arah nisan.
Bunga melati yang tadi ia letakkan terguncang sedikit — satu kelopak terlepas, terbawa angin, menari-nari di udara sebelum jatuh tepat di jalannya.

Pemuda itu melangkah pergi, menatap langit yang kini mulai memudar menjadi jingga.
Untuk pertama kalinya setelah sekian lama, dadanya terasa sedikit ringan.
Seolah beban yang selama ini menekannya… ikut terkubur bersama hujan, di sisi nisan yang mendengar.

 



No comments: